BEKASI,
METRO - Indikasi
korupsi anggaran sekolah yang bersumber dari dana Bantuan Keuangan Khusus (BKK)
tahun 2017, Kepala SMA Negeri 1 Setu, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat, DN
dilaporkan ke Direktorat kriminal khusus tindak pidana korupsi (Tipikor) Polda
Metro Jaya.
Laporan
dugaan korupsi tersebut masuk ke Polda Metro Jaya tanggal 28 Agustus 2018,
tegas, RB. Haloho selaku pemimpin redaksi surat kabar Lensa Pendidikan, yang
juga pemerhati pendidikan di wilayah Bekasi, beberapa hari lalu.
Dia
sebutkan, dana Hibah APBD Kabupaten Bekasi tahun 2017 berupa dana Bantuan
Keuangan Khusus (BKK) yang digelontorkan sebagai bentuk komitmen Pemkab
Bekasi dalam membantu dan mewujudkan
pendidikan gratis untuk siswa SMAN/SMKN di wilayahnya, ”Anggaran itu dikucurkan
Bupati Bekasi untuk membantu biaya pendidikan untuk jenjang SMAN/SMKN, tapi
malah jadi bancakan kepala sekolah,”geramnya.
Haloho
mengatakan, sejak memimpin, DN tidak pernah transparan dalam mengelola anggaran
sekolah, khususnya dana bantuan yang dihibahkan Pemkab Bekasi pasca peralihan
pengelolaan SMA/SMK ke Provinsi Jawa Barat. “Anggaran 1, 7 Juta per siswa itu
diduga jadi ajang korupsi kepala sekolah,” jelasnya.
Dijelaskan
Haloho, bahwa laporan tersebut untuk menindaklanjuti terkait penyimpangan uang
negara kurang lebih 2 Miliar di SMAN 1 Setu. Dengan begitu, dia juga berharap
agar yang bersangkutan segara dipanggil dan diklarifikasi oleh pihak
kepolisian. “Artinya, supaya tidak menimbulkan asumsi di masyarakat yang
negative, sehingga yang bersangkutan harus segera dipanggil dan
diklarifikasi terkait kasus ini, agar
persoalan hukumnya menjadi jelas,” terangnya.
Dia
menambahkan, modus korupsi dana BKK yang diduga dilakukan kepala sekolah itu
dengan secara sistemik membuat surat pertanggung-jawaban fiktif dengan Memurk-up
sejumlah pengeluaran serta disinyalir
telah membuat sistim pembiayaan
ganda setiap kegiatan yang tertuang di dalam
rencana anggaran kegiatan sekolah (RAKS). ”Artinya kegiatan yang sudah
didanai anggaran dari BOS dan BPMU, diambil lagi dari dana BKK, yang lajim
disebut duplikasi anggaran,” jelasnya.
Haloho
juga menduga, leluasannya kepala SMAN 1 Setu menentukan besarnya pungutan di
sekolah itu karena kantor cabang dinas (KCD) wilayah setempat juga turut
menikmati dana dari orangtua siswa itu. “Saya menduga, dana sebesar itu
mengalir juga ke birokrasi atasanya,” ujarnya.
Lebih
jauh dia menjelaskan, pola korupsi dana BKK yang diduga dilakukan kepala SMAN 1
Setu, DN itu pasti dibantu oleh bendahara sekolah dan kepala cabang dinas (KCB).
Dalam korupsinya, kata dia, ada tiga cara yang digunakan yakni membuat anggaran
ganda pada Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (APBS), penggelapan dana
APBS, dan pungutan-pungutan kepada siswa.
Korupsi
melalui pembuatan anggaran ganda, lanjut Haloho adalah dengan pemungutan dana
orang tua siswa, meski dana pemerintah telah mencukupi. Padahal, sebenarnya
dana orang tua dapat diminta dengan catatan jika dana pemerintah tidak memadai.
Kami menemukan adanya pengadaan dana dari pemerintah, tapi tetap dipungut biaya
untuk keperluan membayar listrik, air, dan bangunan. “Anggaran ganda itu
terjadi karena selama ini orang tua siswa tidak pernah tahu tentang jumlah dan
alokasi yang tertuang di APBS itu sehingga tidak ada transparansi,” bebernya.
Ia juga
mengaku, kepala sekolah memang rawan dengan urusan dana. Karena dia manajer
utama di lingkungan sekolah, sebagai penangung jawab manajerial dan pemimpin
institusi pendidikan membuat kepala sekolah sangat mungkin menjadi pelaku
korupsi. Dan ia juga mendengar kabar dana korupsi kepala sekolah digunakan untuk
memberi upeti kepada pejabat dinas pendidikan (KCD). Hal-hal yang seperti itu
ada, tapi sulit dibuktikan. “Kami menduga bahwa korupsi yang timbul di SMAN 1
Setu itu merupakan bagian dari rangkaian institusi pelaksana pendidikan di
atasnya, seperti dinas pendidikan,” ujarnya.
Dia juga
melihat ketidakberesan pengelolaan keuangan sekolah yang berpotensi korupsi
adalah fenomena gunung es. Yang tampak di permukaan hanyalah sebagian kecil
dari kenyataan yang sesungguhnya tergelar di lembaga yang semestinya bertugas
secara sadar dan terencana memanusiawikan manusia muda itu.
Haloho
juga menilai, keputusan Bupati Bekasi, Hj. Neneng Hasanah Yassin, memberikan
hibah sebesar itu merupakan langkah yang keliru sehingga kepala sekolah
dimungkinkan untuk mendulang harta di pusaran BKK. ”Bantuan itu seharusnya
dibarengi dengan pengawasan yang ketat sehingga tidak ada dugaan korupsi
seperti ini,” jelasnya.
Dikatakannya,
perilaku kepala sekolah menerapkan manajemen bisnis dalam mengelola sekolah
terlihat setiap Penerimaan Peserta Didik
Baru (PPDB). Berlindung dibalik ijin komite, DN leluasa menentukan berapa
besaran dari orangtua siswa baru. Untuk tahun ajaran sekarang, uang yang di
peroleh sekolah dari orangtua, berupa Sumbangan Dana Pendidikan (SDP) awal tahun, seragam sekolah,
Jas almamater dan iuran satu bulan siswa kelas X harus membayar sebesar
Rp.2.500.000/siswa. ”Kami khawatir uang sebanyak itu tidak jelas alokasinya,
seperti tahun-tahun sebelumya,” kesalnya.
Selain
ditarik uang Sumbangan Dana Pendidikan (SDP) awal tahun, orangtua juga harus
membayar Sumbangan Dana Pendidikan (SDP) bulanan dengan jumlah yang sangat
besar. Untuk seluruh siswa kelas X, XI, dan kelas XII dibebankan Rp.3.000.000/bulan,
jadi total iuran bulanan untuk satu tahun ajaran sebesar Rp 3.880.000 dengan
rincian, 1.078 siswa dikali Rp 300.000 dikali 12 bulan, jelasnya.
Sedangkan
dari Bantuan Pendidikan Menengah Universal (BPMU), lanjut dia, sekolah yang
berada di Desa Lubangbuaya ini, mendapat Rp 754.000.000. Sementara
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah pusat (APBN), sekolah ini
mendulang Rp1.509.200.000, lantas kemana alokasi dana sebesar itu,” tutup
Haloho. (Dpt)