BEKASI, METRO- Tumbuh suburnya jumlah rumah sakit di Kota
Bekasi, akan berdampak terhadap jumlah produksi limbah medis yang dihasilkan.
Oleh karena itu, Limbah medis rumah sakit dikategorikan sebagai limbah B3
(Bahan Berbahaya dan Beracun. Hal itu jelas ditegaskan dalam lampiran satu
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun.
Berdasarkan hasil observasi dan identifikasi LSM JEKO
(Jendela Komunikasi), pengelolaan limbah B3 di rumah sakit itu sangat
diperlukan, sebab jika tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak yang
sangat negatif terhadap kelangsungan mahluk hidup yakni terjadinya pencemaran
lingkungan dan wabah berbagai jenis penyakit.
Menurut Dewan Pendiri LSM JEKO yang biasa dipanggil Bob
mengatakan, dari hasil kajian bidang
investigasi dan observasi LSM JEKO menyimpulkan bahwa sistem pengelolaan Limbah
B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang dilakukan sejumlah rumah sakit yang ada
di Pemerintah Kota Bekasi, patut dipertanyakan.
Alasananya, karena yang namanya Rumah Sakit, sesuai
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, sangat jelas dikatakan bahwa sebagai tempat
berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat dan dimanfaatkan masyarakat sebagai
salah satu fasilitas pelayanan kesehatan juga memungkinkan terjadinya penularan
penyakit, pencemaran lingkungan, dan gangguan kesehatan.
Atas dasar kajian bidang investigasi dan observasi LSM JEKO,
maka dengan ini pengelolaan limbah B3 yang dilakukan rumah sakit pemerintah
dalam hal ini RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Kota Bekasi, menjadi pertanyaan
besar. Sebab beberapa kali tim investigasi dan observasi LSM JEKO diterjukan,
belum mendapatkan laporan hasil kajian yang maksimal sesuai dengan regulasi
yang ditentukan pemerintah terkait limbah B3 rumah sakit.
Seperti diketahui, limbah B3 rumah sakit memiliki
karakteristik dan sifat yang berbeda dengan jenis limbah secara umum. “Limbah B3 rumah sakit itu memiliki sifat
yang tidak stabil, reaktif, eksplosif, mudah terbakar dan bersifat racun” kata
Bob dalam siaran pers nya yang diterima redaksi.
Dijelaskannya, sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.56 Tahun 2015 menyebutkan bahwa
rumah sakit termasuk salah satu fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan
pengelolaan limbah B3 yang meliputi pengurangan dan pemilahan limbah B3,
penyimpanan limbah B3, pengangkutan limbah B3, pengolahan limbah B3, penguburan
limbah B3, dan/atau penimbunan limbah B3.
“Berapa kilo atau ton jumlah sampah medis yang dihasilkan
per triwulan atau semester dan begitu juga sebaliknya, jenis limbah padat medis
dan komposisinya apa saja. Sampai sejauh ini pihak manejemen RSUD Kota Bekasi,
belum mau terbuka. Anehnya, dari total anggaran sejak tahun 2017 sampai
sekarang, pihak manajemen RSUD Kota Bekasi telah mengalokasikan dana APBD
sejumlah Rp 3.4 milyar lebih untuk
pengolahan limbah B3 nya” tuturnya.
Yang jadi pertanyaan kami, sesuai dengan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.56/Menlhk-Setjen/2015 Tentang Tata Cara
dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Dari
Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Sudah ditempuh atau belum oleh pihak manajemen
RSUD Kota Bekasi, tanya Bob. Menurutnya, yang sangat penting terkait
pengelolaan limbah B3 di Rumah sakit itu adalah soal keberadaan dan fungsi
insinerator. (dpt*)