![]() |
Anggota
Komisi IX DPR Netty Prasetiyani Heryawan.
JAKARTA, METRO--Anggota Komisi IX DPR
Netty Prasetiyani Heryawan meminta pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU)
Omnibus Law Cipta Kerja dihentikan. Ia menilai RUU ini berpotensi mengekang
kebebasan pers di Indonesia yang mengandung upaya mengembalikan campur tangan
pemerintah dalam kehidupan pers.
"Hentikan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja
karena berpotensi membungkam dan menyulitkan dunia pers di tanah
air. Kita perlu mendorong pers yang kredibel dan bertanggung jawab, namun
jangan sampai RUU ini mengembalikan pengalaman buruk di masa Orde Baru, di mana
ada campur tangan Pemerintah yang besar terhadap pers,” katanya melalui siaran
pers kepada Parlementaria baru baru ini.
Sebagaimana diketahui, pada masa Pemerintahan orde
baru, Pemerintah melakukan kontrol terhadap pemberitaan media, mulai dari
keharusan adanya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), pengendalian
Dewan Pers, pengaturan organisasi wartawan hingga pembredelan. “Langkah
ini dapat menjadi kemunduran bagi kebebasan pers Indonesia,"
tegasnya.
Dalam RUU ini, lanjut Netty, mengatur mengenai sanksi
administratif terhadap perusahaan media yang melanggar aturan terkait badan
hukum pers, pencantuman alamat dan penanggungjawab secara terbuka. Adanya
aturan tersebut seperti membuka pintu belakang yang bertentangan dengan
semangat pengelolaan mandiri (self-regulatory) media yang terbebas dari
intervensi pemerintah.
Selain itu, kata Netty, dalam Undang-Undang No 40
Tahun 1999 tentang Pers, denda untuk perusahaan pers yang melanggar ketentuan
soal kewajiban memperhatikan norma agama dan kesusilaan dalam pemberitaan,
paling banyak Rp500 juta, tetapi dalam draft RUU Cipta Kerja disebutkan
sampai Rp2 miliar.
"Pelanggaran memang perlu diberi sanksi sebagai
cara pembelajaran. Namun, untuk apa dinaikkan sampai empat kali lipat? Hal ini
akan sangat menyulitkan teman-teman pers. Bisa jadi tidak ada lagi yang berani
menjalankan perusahaan pers kalau dendanya sebanyak itu," ujar legislator
Fraksi PKS itu.
Netty berpendapat bahwa pers yang sehat, bebas dan
bertanggung jawab adalah pilar demokrasi. Pers dapat menjadi alat kontrol
sosial untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh
pejabat publik. “Nah, fungsi ini akan berjalan dengan baik, jika pers
independen dan memiliki keleluasaan. Jika ditakut-takuti dengan denda dan
sanksi yang berat dan diawasi dengan peraturan pemerintah soal administrasi,
tentu akan mempengaruhi keleluasaan pers dalam menjalankan fungsi kontrol
sosial," tegasnya.
Sebagaimana diketahui, Paragraf 5 Pasal 87 Rancangan
Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja mengandung ketentuan revisi terhadap UU
No. 40 tentang Pers, antara lain pada Pasal 11 dan Pasal 18 yang ditolak
kalangan insan media.
Pasal 11 mengatur mengenai mekanisme penanaman modal, yang
awalnya dilakukan melalui pasar modal direvisi menjadi pemerintah pusat
mengembangkan usaha pers melalui penambahan modal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. Sementara Pasal 18
merevisi ketentuan terkait pemberian sanksi bagi perusahaan pers yang
melakukan pelanggaran atas pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 13
UU Pers, dari denda maksimal Rp500 juta menjadi Rp2 miliar.
Kemudian pada ayat 3, perusahaan pers yang melanggar
ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp100 juta direvisi menjadi perusahaan pers yang melanggar ketentuan
Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif. Terakhir, di ayat 4
mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan
mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah. (red/dpt)