JAKARTA, METRO-- Rancangan
Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang kini sedang
dibahas, terus diperkaya dengan masukan dari berbagai komunitas dan profesi.
Kali ini Badan Legislasi (Baleg) DPR RI meminta masukan dari insan pers terkait
muatan pasal-pasal yang bersentuhan dengan industri pers.
Dipimpin
Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya, Baleg menghadirkan pakar komunikasi digital
Irwansyah, Dewan Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan beberapa praktisi
pers lainnya, yang hadir secara fisik maupun virtual, Kamis (11/6/2020).
“Penting menampung masukan dari teman-teman jurnalis sebagai partisipasi
publik. Kebetulan banyak pula teman-teman pers yang menanyakan kabar RUU
Ciptaker ini," kata willy saat rapat.
Anggota
Dewan Pers Agung Darmajaya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tersebut
menyatakan, pada prinsipnya Dewan Pers mendukung RUU Ciptaker ini. Hanya saja
ada beberapa pasal dalam RUU Ciptaker yang sudah diatur dalam UU Pers. Bila ada
pasal-pasal RUU Ciptaker yang bersinggungan dengan pers, sebaiknya Baleg DPR RI
selalu melibatkan Dewan Pers.
Sementara
Abdul Manan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), mengemukakan, sebetulnya
tidak ada hal baru yang diatur RUU Ciptaker dalam klaster yang bersinggungan
dengan pers. Hanya ada pasal sanksi yang berbeda dalam UU Pers dan RUU
Ciptaker. Pasal 18 dalam dalam UU Pers menyebut bahwa sanksi bagi pihak yang
menghalangi kerja pers dihukum dua tahun dan atau denda Rp 500 juta.
Dalam RUU
Ciptaker disebut, sanksi dendanya ditambah menjadi Rp 2 miliar. Manan sempat
mempertanyakan penambahan sanksi denda tersebut. Apakah ini untuk menambah
pundi-pundi negara dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Idealnya, sanksi
yang diberikan dalam industri pers adalah sanksi yang mendidik bukan sanksi yang
membangkrutkan, katanya.
AJI juga
mempersoalkan kewenangan administratif pemerintah atas industri pers.
Pemerintah masih memegang kendali izin SIUPP atas industri pers. Padahal,
persoalan administratif ini bisa menjadi substantif bagi pers, karena bisa
dipaksa gulung tikar. Untuk itu, RUU Ciptaker diharapkan bisa mengakomodasi
kepentingan industri pers agar bisa tetap hidup dan berfungsi mengontrol
jalannya demokratisasi di Indonesia. (red/dpt)